Wednesday, January 30, 2008

Dokter-ku sayang, dokter-ku malang

Hari sabtu kemarin, IDI Makassar berhasil menyelenggarakan Lokakarya Nasional yang bertajuk Hukum dan Etika Kedokteran. Acara yang digelar selama dua hari (26-27 Januari 2007) ini bisa dibilang sukses karena berhasil meraup peserta tidak kurang dari 600 orang yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

Mengapa tidak??? Karena dalam perhelatan ini, IDI mengundang para pakar hukum kesehatan untuk mengupas habis masalah terbesar dalam tubuh organisasi profesi ini..yaitu malpraktek. Menurut salah seorang staff senior majalah kompas, pemberitaan kasus malpraktek dikoran-koran hanya bisa tersaingi oleh pemberitaan kasus tsunami Aceh kemarin. Yang lebih mengagetkan lagi, kasus malpraktek di puskesmas mencapai angka 80%. Entah angka ini menginterpretasikan apa. Yang jelas bila kita ingin menjabarkan lebih lanjut, angka ini berarti..terjadi 80 kasus malpraktek dari 100 pengobatan yang ditangani di puskesmas...luar biasa.

Namun dibalik kesuksesan itu ada beberapa hal yang tersisa dan sangat mengusik.

Pertama, disadari atau tidak, saat ini para dokter sedang menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat. Jikalau dulu masyarakat yang datang mencari pengobatan ke dokter akan menyerahkan dan mempercayakan sepenuhnya "prosesi" pengobatan kepada sang dokter tanpa ada syak wasangka sama sekali, dan sang dokter pun yang merasa diberi kepercayaan penuh akan berusaha melaksanakan tanggung jawabnya sebaik mungkin. Hubungan yang dilandasi oleh rasa saling percaya ini melahirkan hubungan emosional yang kuat antara dokter dan pasien.
Namun tendensi yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Pasien seolah menaruh paranoia yang besar terhadap setiap prosedur penatalaksanaan yang dilakukan oleh dokter. Salah melangkah sedikit saja maka tuduhan malpraktek akan terbit. Dokter pun pada akhirnya akan bekerja dibawah tekanan dan akan cenderung memilih prosedur pemeriksaan yang lebih panjang guna menghindari kesalahan diagnosis (yang terkadang pada akhirnya juga akan dicap dengan memberikan pelayanan yang bertele-tele).

Bila dilihat lebih jauh, ada beberapa hal yang meng-katalis patogenesis krisis ini serta mudahnya tuduhan malpraktek dilayangkan pada seorang dokter. Pemberitaan yang kesannya sepihak dan lebih sering mendiskreditkan dokter sebagai "primary health server". Perlu di pahami bahwa istilah "malpraktek" merujuk pada kegagalan seorang dokter dalam memberikan pelayanan standar pada pasien, atau "lack of skill" atau negligance yang secara langsung menyebabkan penyakit atau perlukaan pada pasien. Malpraktek seharusnya dibedakan dengan "untoward result" secara nyata.

Hal lain adalah adanya krisis komunikasi antara dokter dan pasien-- fee based service--waktu bicara kurang. anamnesis kurang mendalam, pasien tidak puas--salah satu tolak ukur adalah kepuasan pasien..
tetapi perlu juga dipahami bahwa komunikasi mengandung makna pembicaraan dua arah. Pasien seharusnya di motivasi untuk menggunakan hak bicaranya menggali informasi yang sebanyak-banyaknya kepada dokter. Di lailn pihak pasien juga harus lebih proaktif. Saat ini penyebaran informasi sangat cepat, pasien bisa merujuk penyakitnya dengan searching internet

Hal kedua yang sangat mengusik adalah implementasi konsep paternalistik yang sudah ketinggalan jaman. Hubungan dokter-pasien saat ini masih mewarisi konsep paternalistik yang tampaknya sudah berurat dan berakar dalam budaya masyarakat kita. Dahulu, konsekuensi dari konsep ini adalah publik menganggap bahwa dokter itu adalah mahluk yang maha pintar. Mahluk yang mengetahui segalanya dan mampu menyembuhkan segala macam penyakit


Ketiga, penjabaran dan implementasi undang-undang praktek dokter dan perlindungan konsumen yang terkesan dangkal.